Februari 11, 2025

Polemik Ekspor Kratom, Pemerintah Diminta Percepat Riset untuk Kepastian Hukum

WhatsApp Image 2025-01-29 at 04.47.28_78f2f575

Tanaman Kratom, KILASKALBAR/(Istimewa:BNN)

KILASKALBAR – Polemik terkait ekspor kratom kembali mencuat. Sejumlah eksportir mengaku dirugikan karena gagal mengirim ribuan ton kratom akibat aturan ekspor yang dianggap berlapis. Hal ini memicu pro dan kontra terhadap tanaman dengan nama ilmiah Mitragyna speciosa.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Masteria Yunovilsa Putra, menjelaskan bahwa polemik ini terjadi karena beragam pandangan terhadap manfaat dan risiko kratom.

“Kratom merupakan tanaman asli Indonesia atau ASEAN, jadi wajar jika menimbulkan pro dan kontra. BRIN sejak tahun lalu diminta oleh pemerintah untuk meneliti dampak positif dan negatif dari kratom,” ujar Masteria dalam wawancara via telepon, Selasa (28/1).

Menurut Masteria, aturan ekspor yang diterapkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) bertujuan menjaga kualitas kratom agar sesuai standar internasional.

Salah satu isu utama adalah import alert yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat terkait kontaminasi logam berat dan mikrobiologi pada kratom asal Indonesia.

“Aturan ini merupakan bentuk diplomasi agar import alert dari FDA bisa dicabut. Untuk menjaga kualitas, eksportir terdaftar harus memenuhi standar Permendag dan quality control dari laboratorium surveyor,” jelasnya.

Masteria mengusulkan percepatan riset kratom oleh lembaga terkait seperti Kementerian Kesehatan, BRIN, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ia berharap diskusi lintas institusi dapat memberikan dasar saintifik yang kuat untuk penggolongan kratom.

“Diskusi bersama diperlukan agar justifikasi ilmiah mengenai kratom dapat diterima oleh semua pihak. Dengan begitu, petani dan eksportir mendapat kepastian hukum yang jelas,” katanya.

Riset ini dinilai mendesak karena isu kratom akan dibahas dalam pertemuan UN Commission on Drugs pada Maret mendatang. Beberapa negara di Eropa dan Amerika, seperti Swedia dan beberapa negara bagian AS, tengah berupaya melarang penggunaan kratom.

Jika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan kratom ke dalam golongan psikotropika, dampaknya bisa signifikan terhadap petani dan eksportir.

“Jika WHO menggolongkan kratom sebagai psikotropika, negara-negara lain yang saat ini mengizinkan penggunaannya mungkin akan mengadopsi keputusan tersebut, sehingga ekspor Indonesia semakin terhambat,” ungkap Masteria.

Di tengah polemik ini, BRIN menemukan bahwa kratom memiliki potensi manfaat medis, seperti sebagai anti-kanker, anti-inflamasi, dan analgesik. Namun, Masteria menekankan bahwa BRIN bersikap netral dan hanya memberikan hasil penelitian berbasis ilmiah.

“Kami menilai berdasarkan data saintifik. Jika ada manfaat, kami akan menyampaikan. Jika ada sisi negatif, kami juga akan mengutarakan hal tersebut. Keputusan akhir ada di regulator, seperti Kemenkes dan BPOM,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *